MALIOBORO (Cerita rakyat Yogyakarta)

>> Jumat, November 09, 2007

Kerajaan Mataram dikenal sebagai kerajaan yang berwibawa. Kerajaan tersebut termasuk salah satu negeri di Nusantara yang belum pernah tunduk pada penjajah Belanda. Meski demikian, bukan berarti tak ada gejolak di dalamnya.

Perpecahan hampir saja terjadi ketika Mataram di perintah oleh Sultan Pakubuwono. Sultan Pakubuwono dikenal adil dan bijaksana dalam memegang pemerintahan. Di samping itu, beliau sangat dengan rakyat. Oleh karena itu, seluruh rakyat pun patuh dan taat pada perintah Sultan.

Pemerintah Belanda merasa gerah melihat ada sebuah kerajaan yang amat damai. Belanda ingin mengacaukan ketentraman kerajaan itu. Untuk mencapai tujuannya, Belanda mencoba menghasut Sultan Pakubuwono dan pamannya, Pangeran Mangkubumi. Sementara itu, keduanya tidak sadar bahwa mereka sedang di adu domba.

Belanda memang sangat lihai mengadu domba. Perselisihan antara Sultan dan Pangeran semakin hari semakin meruncing. Hingga meletuslah perang antara pengikut Sultan Pakubuwono dan pengikut Pangeran Mangkubumi.

Dalam perang itu, Pangeran Mangkubumi mempunyai seorang panglima perang yang memiliki pusaka yang amat sakti, sebuah tombak. Dengan tombak itulah ia bisa mengalahkan musuh-musuhnya.

Setelah perang usai, keduanya baru sadar, ternyata selama ini mereka telah di adu domba oleh Belanda. Oleh karena itu, mereka sepakat mengadakan pertemuan.

Berhari-hari mereka mengadakan pertemuan. Dari hasil pertemuan itu, lahirlah beberapa ketentuan yang mereka sepakati. Salah satu di antara ketentuan yang mereka sepakati adalah kerajaan dibagi menjadi dua, yaitu Kasultanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubowono I. Sementara itu, Kasultanan Kartosuro di bawah kekuasaan Sultan Pakubuwono. Meski demikian mereka tetap bersatu.

Perang telah usai, suasana berangsur aman. Para prajurit Kasultanan Yogyakarta kembali ke Yogyakarta. Begitu juga Prajurit Surakarta kembali ke Surakarta.

Para prajurit Sultan Hamengkubuwono tiba di Yogyakarta saat hari telah malam. Ketika itu di sepanjang jalan antara Tugu sampai dengan alun-alun belum ada lampu penerangan. Bala tentara Sultan Hamengkubuwono berjalan beramai-ramai sambil membawa obor.

Dari peristiwa kepulangan pasukan Sultan Hamengkubuwono itulah lahir istilah MALIOBORO, jalan yang penuh obor. Sekarang istilah Malioboro diabadikan sebagai nama jalan antara Stasiun Tugu sampai Alun-Alun Utara.

  © Blogger template Selamat Hari Raya Aidilfitri by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP